PERTEMUAN ADVOKASI DAN SOSIALISASI IMUNISASI JAPANESE ENCHEPALITIS DI KALIMANTAN BARAT
Oleh Putri Pratiwiningrum
Pontianak, 5 Oktober 2023
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Japanese encephalitis adalah radang otak yang disebabkan oleh Japanese encephalitis virus. Penyakit ini menyebar ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi virus tersebut. Meski umumnya bergejala ringan, sebagian kasus. Japanese encephalitis dapat menyebabkan radang otak yang berakibat fatal.
Penularan Japanese encephalitis virus terjadi ketika nyamuk menggigit hewan yang terinfeksi virus ini, umumnya babi dan burung air. Nyamuk tersebut kemudian dapat menyebarkan virus ke manusia melalui gigitannya. Meski demikian, virus ini tidak dapat menular antarmanusia.
Japanese encephalitis umumnya ditemukan di Asia Tenggara, seperti Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Selain negara-negara tersebut, penyakit ini juga dapat ditemukan di Cina, Korea, Sri Lanka, dan India.
PENYEBAB JAPANESE ENCEPHALITIS
Japanese encephalitis disebabkan oleh Japanese encephalitis virus. Virus ini merupakan kelompok flavivirus yang masih terkait erat dengan virus demam berdarah, demam kuning (yellow fever), dan west nile fever.
Japanese encephalitis virus menyebar ke manusia dari hewan yang terinfeksi, biasanya babi atau burung air, melalui gigitan nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Nyamuk ini lebih aktif pada malam hari dan banyak ditemukan di daerah persawahan. Umumnya, kasus Japanese encephalitis akan meningkat ketika musim hujan, karena jumlah populasi nyamuk akan bertambah.
GEJALA JAPANESE ENCEPHALITIS
Japanese encephalitis umumnya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan gejala ringan, seperti demam, sakit kepala, serta mual dan muntah. Beberapa gejala tersebut biasanya timbul 4–15 hari setelah penderita tergigit nyamuk yang terinfeksi.
Beberapa gejala berat yang bisa muncul adalah:
Demam tinggi
Napas cepat
Leher terasa kaku
Muntah-muntah parah
Kaku otot
Gangguan penglihatan akibat pembengkakan saraf mata (papiledema)
Linglung
Sulit berbicara
Tremor
Kejang, terutama pada anak-anak
Kelumpuhan
12. Koma
Gejala Japanese encephalitis berat lebih berisiko terjadi pada anak berusia 2−10 tahun dan lansia.
DIAGNOSIS JAPANESE ENCEPHALITIS
Jika pasien diduga mengalami Japanese Enchephalitis dokter akan mengawali diagnosis Japanese encephalitis dengan melakukan tanya jawab mengenai gejala yang dialami pasien, riwayat kesehatan pasien, dan riwayat perjalanan pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa fungsi saraf pada pasien.
Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, seperti:
Tes darah, untuk mendeteksi adanya Japanese encephalitis virus dalam darah, serta mendeteksi antibodi terhadap virus tersebut
Tes lumbal pungsi, yang juga untuk mendeteksi antibodi terhadap Japanese encephalitis virus
MRI atau CT scan otak, untuk menilai kerusakan dan pembengkakan otak yang sering terjadi pada penyakit ini
PENCEGAHAN JAPANESE ENCEPHALITIS
Upaya utama untuk mencegah terkena Japanese encephalitis adalah menjalani vaksinasi. Vaksinasi Japanese encephalitis di Indonesia telah masuk ke dalam imunisasi dasar pada anak usia 9 bulan dengan dosis tunggal. Untuk perlindungan jangka panjang, vaksinasi booster dapat diberikan 1–2 tahun berikutnya.
Selain vaksinasi, risiko terjadinya Japanese encephalitis juga dapat diturunkan dengan melindungi diri dari gigitan nyamuk. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
Menggunakan losion anti nyamuk sesuai dengan petunjuk yang tertera ketika beraktivitas di luar ruangan;
Mengenakan baju lengan panjang jika beraktivitas di luar ruangan yang terdapat banyak tanaman, seperti semak-semak atau rawa-rawa;
Menggunakan kelambu ketika tidur;
Membersihkan tempat yang dapat menjadi tempat genangan air, seperti ember, pot bunga, dan tempat sampah, secara rutin, serta membersihkan lingkungan sekitar rumah;
Tidak menumpuk barang-barang bekas.
PENGOBATAN JAPANESE ENCEPHALITIS
Belum ada obat antivirus yang secara khusus dapat mengobati Japanese encephalitis. Penanganan yang dilakukan dokter bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien, menurunkan tekanan di dalam otak, dan mengobati komplikasi yang mungkin terjadi.
Penanganan tersebut meliputi:
Merawat pasien di ruang ICU;
Memberikan cairan melalui infus;
Memberikan oksigen, yang bisa dilakukan melalui intubasi;
Memberikan obat antikejang dan penurun demam;
Memberikan manitol melalui infus untuk mengurangi tekanan dalam otak.
KOMPLIKASI JAPANESE ENCEPHALITIS
Japanese encephalitis yang berat dapat menimbulkan beberapa komplikasi yang serius, seperti:
Sindrom Guillain-Barré;
Penumpukkan cairan di dalam otak (hidrosefalus);
Koma;
Kematian pada 20–30% kasus.
Sekitar 30–50% pasien yang sembuh dari Japanese encephalitis berat dapat terkena gangguan saraf dan lumpuh permanen, gangguan bicara, gangguan memori, serta gangguan mental.
PERTEMUAN ADVOKASI DAN SOSIALISASI IMUNISASI JAPANESE ENCHEPALITIS DI KALIMANTAN BARAT
Pada hari selasa, 29 Agustus 2023, Plt kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Pontianak Ibu Bibi Zarina, SKM., M. Kes beserta staff menghadiri pertemuan Advokasi dan Sosialisasi Introduksi Imunisasi Japanese Enchepalitis (JE) yang diadakan oleh Dinas Kesehatn Provinsi Kalimantan Barat di hotel Harris Pontianak.
Direktur Jenderal P2P, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS, menegaskan, “Target sasaran imunisasi massal JE adalah anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun kemudian dilanjutkan pelaksanaan imunisasi rutin pada anaj usia 10 bulan setelah pelaksanaan imunisasi massal JE selesai.” Ini merupakan langkah penting dalam melindungi anak-anak dari penyakit yang mengancam sistem syaraf mereka.Imunisasi JE merupakan respons terhadap kasus yang ditemukan di 24 negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dalam acara ini, disampaikan juga informasi terkait jenis vaksin JE yang akan digunakan, strategi kampanye imunisasi, serta langkah-langak keamanan vaksin. Program imunisasi akan di mulai dari ana-anak TK sampai dengan SMP, dengan bantuan dari orang tua dan Ibu-ibu PKK dalam mensosialisasikannya. Diharapkan Kalimantan Barat dapat aman dari ancaman Japanese Enchepalitis.
REFERENSI
Joe, S., et al. (2022). Antiviral Drug Research for Japanese Encephalitis: An Updated Review. Pharmacological Reports: PR, 74(2), pp. 273–296.
Cheng, Y., et al. (2022). Estimates of Japanese Encephalitis Mortality and Morbidity: A Systematic Review and Modeling Analysis. PLoS Neglected Tropical Diseases, 16(5), pp. 1–24.
Quan, T. M., et al. (2020). Estimates of the Global Burden of Japanese Encephalitis and the Impact of Vaccination from 2000-2015. Elife, 9, pp. e51027.
World Health Organization (2019). Newsroom. Japanese Encephalitis.
Centers for Disease Control and Prevention (2022). Japanese Encephalitis Virus.
National Health Service UK (2019). Health A to Z. Japanese Encephalitis.
National Institutes of Health (2022). National Library of Medicine. Japanese Encephalitis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (2018). Imunisasi. Japanese Encephalitis.
Victoria State Government (2022). Infections. Japanese Encephalitis.
Medscape (2019). Japanese Encephalitis.
WebMD (2022). Japanese Encephalitis: What to Know.