Oleh : Felliandre Marafelino, Sutrisno
Pontianak, 17 September 2024
PENDAHULUAN
Saat di depan layar webinar siang ini (06/08), penulis mendengar kabar kematian misterius kru kapal nelayan di Banten yang disampaikan oleh Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK) Kemenkes Bapak dr. Achmad Farchanny Tri Adryanto, MKM saat membuka webinar tentang Pengendalian Vektor. Tak lama, berita tersebut muncul di TV saat melalui lobby kantor. Penulis pun reflek memotret layar TV dan langsung mencari pada mesin pencari web. Berita tersebut telah dimuat pada salah satu portal berita online yang menyatakan dari 36 kru kapal KM. Sri Mariana 07 sebanyak 6 orang meninggal dan 14 orang dirawat dirumah sakit dan sisanya di karantina di kapal karena pada awal kejadian ini belum diketahui penyebab kematiannya. Karantina memang menjadi prosedur standar jika ada kematian akibat kejadian penyakit yang belum diketahui penyebabnya.
Gambar 1. Berita kematian kru kapal nelayan pada stasiun TV Nasional
(Sumber: dokumentasi pribadi)
Berdasarkan informasi yang tertulis di portal berita ada dugaan jika melihat ciri penyakit dan keluhan yang dialami oleh kru kapal yang selamat adalah penyakit Leptospirosis. Mengutip dari Alodokter, Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Bakteri ini dapat menyebar melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi. Beberapa hewan yang tergolong sebagai perantara penyebaran leptospirosis adalah tikus, sapi, anjing, dan babi. Tikus adalah pembawa bakteri ini masuk ke manusia melalui kontak langsung dengan antara kulit dan urine tikus; kontak dengan air dan tanah terkontaminasi; dan mengkonsumsi makanan atau minuman terkontaminasi.
TIKUS DAN PENYAKIT YANG DIBAWANYA
Tikus merupakan salah satu binatang pembawa penyakit yang umum ditemukan di kapal. Tikus dapat masuk ke kapal melalui tali tambat yang tidak dipasang rat guard/plate, tangga yang tidak dinaikkan saat tidak ada aktifitas, dan ditambah dengan minimnya atau ketiadaan penggunaan perangkap, lem, atau rodentisida di kapal yang merupakan bentuk pencegahan introduksi dan infestasi tikus di kapal. Tikus diketahui dapat menyebarkan penyakit melalui gigitan, cakaran, urine, kotoran, atau ektoparasit (pinjal, kutu, caplak, dan tungau) yang menempel pada tubuhnya. Penyakit yang dibawa tikus selain Leptospirosis adalah Pes, Hantavirus, Hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS), Lymphocytic choriomeningitis (LCM), Rat bite fever (RBF), dan Demam Lassa.
Penyakit Pes adalah penyakit tular tikus terkenal yang pernah menjadi pandemi dengan sebutan Black Death. Tertulis dalam Buku Until Proven Safe: The Gripping History of Quarantine, From The Black Death to The Post COVID Future, sekitar tiga setengah abad yang lalu, sebuah kapal yang memalsukan asal pelabuhan kedatangan yaitu Peloponnese yang merupakan daerah wabah Pes, saat tiba di Sicilia. Selain itu, nahkoda kapal menyatakan salah satu kru yang yang tertera dalam manifest namun tidak ada saat tiba di Sicilia hilang karena jatuh kelaut padahal meninggal dalam perjalanan karena Pes. Keterangan palsu tersebut membuat kapal diperbolehkan untuk melakukan bongkar muat. Alhasil terjadi wabah pes dari tikus yang membawa pinjal yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis di Sicilia. Di era modern ini Kejadian Luar Biasa Pes pernah dilaporkan pada tahun 2017 di Madagaskar namun tidak ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) karena potensi penyebaran yang rendah.
Terkait kejadian penyakit Leptospirosis, pada tahun ini belum lama kita mendengar kejadian penyakit ini menewaskan 23 orang di Jawa Tengah. Untuk kejadian di kapal, pada jurnal Leptospirosis Onboard Afloat Unit: Case Report of an Underreported Infectious Disease kasus Leptospirosis terjadi pada seorang koki kapal yang pada awalnya diduga terkena Dengue atau Malaria. Setelah dievakuasi dari kapal dan dilakukan pemeriksaan yang lebih lengkap ternyata koki tersebut terinfeksi penyakit Leptospirosis, pada hari keempat setelah kejadian melalui pengobatan yang memadai pasien menunjukan perkembangan yang baik. Meskipun tidak ada genangan air di sekitar tempat kerjanya atau tempat tidurnya, namun dilaporkan adanya keberadaan tikus di kapal menjadi pendukung terjadinya Leptospirosis pada koki kapal tersebut. Selain itu, kejadian kematian kru kapal diduga terjangkit Leptospirosis pernah dimuat pada The Borneopost dua awak kapal asal Tiongkok yang bekerja di kapal pukat ikan Malaysia meninggal karena diduga Leptospirosis. Kematian kru kapal KM. Sri Mariana 07 adalah kasus kematian pertama diduga Leptospirosis yang terjadi diatas kapal di Indonesia. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, aspek-aspek yang perlu dilakukan dalam Surveilans Faktor Risiko Leptospirosis atau pencegahan Leptospirosis di Kapal terbagi atas 3 aspek yaitu Keberadaan Tikus; Sumber Makanan dan Air; dan Pengelolaan Makanan dan Air.
JALUR PAJANAN BAKTERI LEPTOSPIRA
Proses kontaminasi bakteri Leptospira pada makanan dan air dapat terjadi pada berbagai tahap bahkan tanpa adanya keberadaan tikus di kapal. Proses pajanan bakteri dapat dimulai melalui bahan makanan/minuman/air yang dikirim atau didistribusikan ke Kapal. Bakteri ini berpotensi mencemari bahan pangan saat proses pemilihan, pengangkutan, dan penyimpanan, terutama jika alat-alat atau wadah yang digunakan sudah tercemar dengan urin tikus yang infektif. Studi menunjukkan bahwa bakteri ini dapat bertahan hidup lebih hingga 152 hari di air bersih. Pada sisi kapal, kondisi yang terkadang lembab dan basah ditambah dengan adanya keberadaan tikus infektif, dapat menjadi tempat ideal bagi bakteri Leptospira untuk berkembang biak.
Keberadaan tikus di kapal dapat dikendalikan dengan beberapa metode. Penulis pernah beberapa kali mengawasi tindakan pengendalian tikus (Deratisasi/Deratting) dengan metode fumigasi menggunakan bahan aktif Methyl Bromide pada kapal. Tikus tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu hewan yang umum ditemukan di kapal selain kecoa, lalat, nyamuk, bahkan kelelawar. Tikus terbanyak yang pernah penulis temukan pasca tindakan fumigasi di kapal adalah 11 ekor dan mungkin tempat lain pernah menemukan lebih banyak.
Tindakan Deratisasi pada Permenkes 34 Tahun 2013 Penyelenggaraan Tindakan Hapus Tikus Dan Hapus Serangga Pada Alat Angkut Di Pelabuhan, Bandar Udara, Dan Pos Lintas Batas Darat dilakukan pengawasan oleh Balai Besar/Balai/Loka Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kesehatan di Pintu Masuk. Selain melakukan pengawasan kegiatan tindakan Deratisasi, UPT Kemenkes ini juga bertugas melakukan pengamatan kepadatan tikus di Pintu Masuk baik Pintu Masuk Darat, Laut, dan Udara pada media lingkungan melalui surveilans kepadatan tikus yang dilakukan tiap 40 hari sekali atau 9 kali dalam setahun. Tentu ada celah potensi tikus berpindah atau melewati pintu masuk kemudian masuk ke dalam alat angkut diantara tidak adanya kegiatan pemasangan perangkap. Terlebih jika tikus tersebut adalah tikus yang infektif.
Menurut International Health Regulation (IHR) 2005, kegiatan surveilans dan pengendalian vektor juga harus dilakukan oleh operator pelabuhan dan operator alat angkut. Adanya kasus kematian ABK diduga akibat Leptospirosis ini seharusnya semakin meningkatkan kesadaran Operator Pelabuhan, Tersus, dan TUKS terutama yang tidak dalam wilayah cakupan pemasangan perangkap tikus yang dilakukan intervensi oleh Balai Besar/Balai/Loka Kekarantinaan Kesehatan agar dapat melakukan pengendalian vektor secara mandiri atau dengan menggunakan badan usaha swasta Pest Control dalam pelaksanaannya. Selain keberadaan tikus, tentu perlu diwaspadai pula kemungkinan masuknya bakteri Leptospira melalui makanan/minuman/air yang disuplai ke Kapal.
Disaat Balai Besar /Balai/ Loka Kekarantinaan Kesehatan atau Operator Pelabuhan, Tersus, dan TUKS sudah melakukan pengendalian secara berkala, Operator Kapal (melalui kru kapal) merupakan pertahanan terakhir terhadap potensi penyebaran penyakit di dalam kapal atau bahkan antar pelabuhan. Buku Panduan Pemeriksaan Kapal dan Penerbitan Sertifikat Sanitasi Kapal/ Handbook for Inspection of Ships and Issuance of Ship Sanitation Certificates (WHO, 2011) yang menjadi acuan petugas Balai Besar/ Balai/ Loka Kekarantinaan Kesehatan dalam melakukan pemeriksaan sanitasi kapal yang tertera dalam Permenkes Nomor 40 tahun 2015 tentang Sertifikat Sanitasi Kapal, memuat saran perbaikan atau tindakan yang perlu dilakukan terhadap temuan yang berhubungan dengan keberadaan pengelolaan makanan/minuman, air minum, air hygiene sanitasi, serta vektor dan binatang pembawa penyakit. Saran tersebut selaras dengan Pasal 17 pada Permenkes 40 Tahun 2015 yang berbunyi “Nakhoda atau pemilik Kapal wajib melakukan pemeliharaan kondisi sanitasi Kapal untuk menjamin keabsahan Sertifikat Sanitasi Kapal.”. Hal ini perlu dilakukan oleh pihak kapal karena ada kemungkinan urine tikus, selain kontak langsung dengan kru kapal juga dapat mengkontaminasi sumber atau proses pengelolaan makanan dan air yang ada di kapal.
LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS DI KAPAL
Dalam mencegah penyebaran leptospirosis, edukasi kepada awak kapal atau supplier terhadap potensi penyakit Leptospirosis melalui faktor risiko melalui makanan/ minuman/ air serta keberadaan binatang pembawa penyakit (seperti tikus), sehingga langkah-langkah pencegahan juga sangat penting untuk meminimalisir risiko penularan penyakit ini. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penyebaran infeksi Leptospirosis di Kapal, yaitu:
Mengenakan pakaian pelindung, sarung tangan, sepatu bot, dan pelindung mata, saat bekerja di area yang berisiko menularkan bakteri Leptospira.
Mengonsumsi air minum yang sudah terjamin kebersihannya atau mengolah air dengan cara merebusnya terlebih dahulu.
Mencuci tangan setiap sebelum makan dan setelah kontak dengan hewan
Mencuci bahan makanan dengan air bersih sebelum mengolahnya
Hindari menyentuh hewan mati dengan tangan telanjang.
Menjaga kebersihan lingkungan dan memastikan lingkungan Kapal bebas dari tikus sebagai binatang pembawa penyakit
Terkait keberadaan tikus dan untuk menjaga keabsahan Sertifikat Sanitasi Kapal, maka saran-saran spesifik terkait pemantauan dan pengendalian keberadaan tikus yang terdapat pada Buku Panduan Pemeriksaan Kapal dan Penerbitan Sertifikat Sanitasi Kapal/ Handbook for Inspection of Ships and Issuance of Ship Sanitation Certificates dapat diterapkan oleh Operator Alat Angkut secara rutin. Kegiatan terkait saran-saran tersebut dapat dilakukan baik saat di pelabuhan atau saat berlayar meskipun pada saat pemeriksaan oleh Petugas Balai Besar/Balai/Loka Kekarantinaan Kesehatan tidak ditemukan keberadaan vektor atau binatang pembawa penyakit.
Langkah pertama, seperti yang sudah disebutkan, dapat dilakukan dengan pemasangan rat guard/plate pada tali tambat yang merupakan salah satu jalur tikus naik ke kapal. Selain memasang rat guard, menaikkan atau melepas tangga dari dermaga saat tidak ada kegiatan adalah cara lain untuk mencegah tikus masuk ke kapal. Intinya adalah memperkecil potensi tikus masuk ke kapal melalui jalur-jalur yang ada.
Gambar 2. Rat guard adalah salah satu bentuk pencegahan introduksi tikus ke kapal
(Sumber: amazon.com)
Langkah kedua adalah dengan Rencana Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management Plan). Rencana Pengendalian Vektor Terpadu pada kapal setidaknya meliputi pengenalan dan identifikasi serangga dan binatang pembawa penyakit, pengawasan dan monitoring, serta pengendalian dengan insektisida dan metode lainnya. Pengembangan strategi pengendalian berdasarkan data hasil pengamatan vektor dan binatang pembawa penyakit; koordinasi dan komunikasi antara operator kapal dan pelabuhan terkait pengendalian yang akan dilakukan; penyuluhan teknis dan atau edukasi kru kapal; dan pengawasan serta evaluasi terus-menerus untuk memastikan strategi pengendalian yang efektif dan aman.
Langkah ketiga adalah melakukan pengawasan rutin terhadap vektor dan binatang pembawa penyakit. Pengawasan ini dapat berupa, memasang dan memeriksa perangkap hewan pengerat dan perangkap lainnya. Pemasangan perangkap hewan pengerat, terlepas ditemukan ada atau tidak adanya keberadaan tikus, merupakan kegiatan pengawasan yang dapat dilakukan secara mandiri sekaligus bentuk pencegahan masuknya atau infestasi tikus pada kapal.
Kondisi infestasi tikus yang padat kadang kala sulit untuk dikendalikan dengan perangkap, maka tindakan pamungkasnya melalui deratisasi misalnya dengan metode fumigasi menggunakan bahan seperti Methyl Bromide ibarat menjatuhkan bom atom, bahkan tidak hanya tikus seluruh makhluk hidup yang ada di dalam kapal akan mati. Pasca tindakan fumigasi, kru kapal tetap harus mewaspadai potensi masuknya atau adanya infestasi ulang tikus ke kapal. Tikus dapat berpindah dari darat, melalui barang muatan, atau dari kapal lainnya apalagi jika tersedia sumber makanan dan area-area yang memungkin untuk tikus untuk bersarang di kapal. Jika hal tersebut terjadi dan keberadaan tikus ditemukan oleh kru kapal maka selain memasang perangkap, kru harus memeriksa kondisi dapur, tempat penyimpanan makanan/bahan makanan, serta penyimpanan air untuk kebutuhan minum dan sanitasi dari kontaminasi urin tikus. Meskipun terdapat studi yang menunjukan, bahwa jika bahan makanan yang terkontaminasi urin yang sudah dicuci bersih atau air yang terkontaminasi sudah direbus hingga mendidih dapat menghilangkan atau mematikan bakteri Lepstospira, untuk pencegahan ada baiknya tidak dikonsumsi/digunakan. Sementara untuk kebutuhan air hygiene sanitasi (misalnya mandi) sebaiknya tidak digunakan dan mencari suplai air yang baru.
Langkah keempat adalah mulai melakukan pencatatan pengendalian vektor, termasuk catatan penggunaan perangkap, pestisida, atau rodentisida. Pencatatan penggunaan perangkap bertujuan untuk mengetahui titik kritis masuknya atau tempat keberadaan vektor dan binatang pembawa penyakit di kapal. Mencatat penggunaan pestisida atau rodentisida tentu menjadi acuan bagi operator kapal mengenai bahan yang efektif dan sebagai acuan monitoring petugas Kekarantinaan Kesehatan untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan yang sudah dilakukan oleh kru kapal (Selaras dengan Pasal 17 Permenkes 40 Tahun 2015).
Pada akhirnya, berbicara tentang penyakit Leptospirosis sebenarnya memang dapat dikendalikan atau disembuhkan jika ditangani dengan cepat dan tepat seperti kasus di India di atas. Tidak menutup kemungkinan, potensi kejadian kematian diduga dan nyata kematian karena Leptospirosis dapat terjadi kembali di kapal. Untuk itu upaya serius harus dilakukan dalam mitigasinya dari sisi sumber dan pengelolaan makanan/ minuman, air minum, suplai air dan penyimpanan air bersih, dan pengendalian tikus di kapal. Hal-hal ini adalah metode yang paling efektif untuk mencegah kesakitan bahkan kematian akibat Leptospirosis di Kapal.
Referensi:
Alodokter. (2023). Leptospirosis. https://www.alodokter.com/leptospirosis. Diakses pada tanggal 6 Agustus 2024
Halodoc. (2024). Leptospirosis. https://www.halodoc.com/kesehatan/leptospirosis Diakses pada tanggal 24 September 2024.
The Borneo post. (2015). 2 ship crew members die of suspected Leptospirosis. https://www.theborneopost.com/2015/06/23/2-ship-crew-members-die-of-suspected-leptospirosis/ Diakses pada tanggal 8 Agustus 2024
Nurin, F. (2024) Awas, Ini 6 Penyakit Berbahaya yang Disebabkan oleh Tikus. https://hellosehat.com/infeksi/penyakit-yang-disebabkan-oleh-tikus/. Diakses pada tanggal 6 Agustus 2024
Manaugh, G., & Twilley, N. (2021). Until Proven Safe: the history and future of quarantine. First edition. New York, MCD/Farrar, Straus and Giroux.
Permenkes 40 Tahun 2015 tentang Sertifikat Sanitasi Kapal
Permenkes 34 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Tindakan Hapus Tikus Dan Hapus Serangga Pada Alat Angkut Di Pelabuhan, Bandar Udara, Dan Pos Lintas Batas Darat
Sharma, Anmol & Ray, Sougat & Choudhury, Joydeep & Tyagi, Rahul. (2020). Leptospirosis Onboard Afloat Unit: Case Report of an Underreported Infectious Disease. 96-100. 10.4103/jmms.jmms_71_19.
WHO. (2011). Handbook for inspection of ships and issuance of ship sanitation certificates. https://www.who.int/publications/i/item/9789241548199
WHO. (2016). Vector surveillance and control at ports, airports, and ground crossings. https://www.who.int/publications/i/item/9789241549592
Wynwood, S. J., Graham, G. C., Weier, S. L., Collet, T. A., McKay, D. B., & Craig, S. B. (2014). Leptospirosis from water sources. Pathogens and global health, 108(7), 334–338. https://doi.org/10.1179/2047773214Y.0000000156